Banyak tetangga mencibir ketika Hendrikus Setiawan menanam 1.250 bibit jabonUmur 1 tahun. pada musim hujan Desember 2003. “Untuk apa menanam jabon,kayunya tak laku,” ujar seorang tetangga seperti diulangi Setiawan. Lima tahun berselang, beberapa pengepul datang menawar. Setiawan pun memanen 1.000 pohon berumur 6 tahun dan mengantongi omzet Rp300-juta.
Tinggi pohon berumur 6 tahun itu 30—40 m dan berdiameter rata-rata 40 cm. Harga jualRp300.000 per pohon relatif murah karena ketika itu Setiawan sedang memerlukan uang dalam jumlah besar. Sebelumnya, pada 2006 pekebun di Desa Bendo, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, itu menjarangkan 112 pohon yang memberikan Rp30-juta. Dari total 1.250 bibit yang ia budidayakan, 138 bibit di antaranya matisepekan setelah penanaman. Menurut sulung 3 bersaudara itu biaya selama 6 tahun mencapai Rp.13-juta.Masih asing mendengar nama kayu jabon? Pohon anggota famili Rubiaceae itu saat ini memang tak sepopuler jati, meranti,atau sengon.
Pekebun di berbagai daerah seperti Cianjur dan Sukabumi,Provinsi Jawa Barat,Cilacap dan Banyumas,Kendal (Jawa Tengah), sertaKediri (Jawa Timur) baru beramai-ramai menanam jabon sejak 2008. Artinya umur pohon mereka,pada saat ini 1—2 tahun. Wajar jika masih jarang pekebun yang memanen jabon hasil budidaya.
Saat ini penjualan kayu jabon ke produsen kayu sebagian besar berasal dari pohon yang tumbuh liar di pekarangan.Berbondong-bondong Dua tahun terakhir, masyarakat di berbagaidaerahberbondong-bondong membudidayakanjabon Anthocephalus cadamba. Maraknyapenanaman jabon tampak dari lonjakan penjualanbibit. Trubus menghubungi 10 penyedia bibit jabon.
Penjualan bibit mereka dalam 2 tahun terakhirmelonjak pesat. PT Silva Tropika Kultur di Citeureup,Kabupaten Bogor, Jawa Barat, misalnya, rata-ratamenjual 3.000 bibit per bulan pada 2010. MenurutMeli Herawati dari PT Silva Tropika Kultur setahunsebelumnya volume penjualan rata-rata hanya500 bibit per bulan.Hadi Parmono, penjual bibit di Desa Pingit,Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung,Jawa Tengah, sanggup menjual 1.000 bibit sepekan.Pada Maret 2010, ketika ia mulai berniaga bibitjabon, volume penjualan baru 1.000 bibit per3 pekan.Menurut Dr Ir Sri Rahayu MP, ahli PatologiHutan Universitas Gadjah Mada, para pekebunmembudidayakan jabon, ketika sengonterserang karat tumor. Penyakit akibat cendawanUromycladium tepperianum meluluhlantakkansengon di berbagai sentra. Di KabupatenBanjarnegara, Purbalingga, Temanggung, danWonosobo—semua di Provinsi Jawa Tengah—tercatat luas serangan 9.604 ha atau sepertigadari total luas tanam. “Sengon tak bisadipaksakan untuk ditanam terus dalamkondisi penyebaran penyakit karat tumorseperti sekarang,” kata Sri Rahayu.Karat tumor pertama kali ditemukan diIndonesia pada 1996 atau 125 tahun sejakpenanaman sengon pertama kali di Kebun RayaBogor pada 1871. Sengon berasal dari PulauSeram, Provinsi Maluku. Menurut Dr Ir Eko BhaktiHardiyanto, dosen Fakultas Kehutanan UniversitasGadjah Mada, serangan hama atau penyakit secarabesar-besaran tergantung spesies organismepengganggu tanaman dan spesies pohon.Saat ini siapa pun sulit memprediksikemungkinan terjadinya ledakan penyakit padajabon. Eko mengatakan beberapa faktor yangmempengaruhi ledakan penyakit adalah mobilisasiorganisme penyebab penyakit, jarak antarlahanjabon, agroklimat, dan lingkungan. Sementara ituDra Ila Anggraini, peneliti hama dan penyakit dariPusat Penelitian dan Pengembangan KehutananBogor, mengatakan saat ini jabon relatif tahanorganisme pengganggu. Jika terdapat serangan punmasih sporadis. Menurut Sri Rahayu kemungkinanpenyakit karat tumor pada sengon tidak menyerangjabon karena spesies keduanya berbeda.
Tiga kali panen
Pertumbuhan tanaman yang cepat menjadidaya tarik bagi pekebun. Menurut Dr Ir IrdikaMansur MForSc, dosen di Departemen SilvikulturFakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, tiap tumbuh jabon 7—10 cm per tahun (lihat infografis).Keistimewaan lain, “Jabon itu tanam satu kalibisa 2—3 kali panen. Jabon setelah ditebang akanbertunas kembali. Tunas tumbuh sangat cepat dankalaudibiarkan akan jadi pohon yang siap tebangdalam waktu yang lebih pendek karena akar indukyang ditebang sudah luas dan dalam dibandingtanaman baru dari bibit,” ujar Irdika.Irdika yang jugapeneliti Seameo Biotrop(Southeast Asian Regional Center for TropicalBiology) pernah memanen sebuah pohon jabon.Ketika tunggul atau bekas tebangan itu dibiarkan,kemudian tumbuh menjadi pohon baru. Namun, iabelum menyaksikan tanaman “generasi kedua” itupanen.Selain itu pohon anggota famili kopi-kopian itujuga multiguna antara lain sebagai bahan bakukayulapis, papan blok, korek api, dan mainan.Menurut Sukandar dari PT Sumber Graha Sejahtera,produsen kayu di Tangerang, Provinsi Banten, teksturjabon yang halus, arah serat lurus, dan berwarnamerah sehingga terkesan mahal. “Dulu jabontak dilirik karena jenis-jenis kayu seperti merantimasih tersedia banyak. Sekarang (meranti) sudahhabis. Agar bisa bertahan, industri menyesuaikanteknologi dengan menggunakan mesin yang bisamengolah jenis kayu apa pun,” kata Dr Ir BambangSukmananto, direktur Bina Pengolahan danPemasaran Hasil Hutan, Kementerian Kehutanan.Bambang mengatakan kayu lapis jabon takkalah berkualitas dibanding kayu-kayu lain. Dengankelebihan itu, jabon dapat berfungsi sebagaiface (bagian kayu lapis yang di depan) atau back(belakang) dalam industri kayulapis dan papan blok.Sementara itu industri kayu memanfaatkan sengonhanya sebagai core (bagian tengah). MenurutProf Dr Ir Surdiding Efendi dari Fakultas KehutananInstitut Pertanian Bogor, jabon mempunyai prospek untuk dikembangkan di hutan tanaman industrikarena kayunya cocok untuk berbagai penggunaan,khususnya sebagai bahan baku vinir dan kayulapis.
Terbatas
Selain itu kayu jabon mudah dibuat vinir tanpaperlakuan pendahuluan dengan sudut kupas92 derajat untuk tebal vinir 1,5 mm. Denganseabrek keistimewaan itu pantas jika banyakindustri kayu berharap pada jabon. Perusahaan yangmengolah kayu jabon antara lain PT Serayu MakmurKayuindo (SMK) yang mengelola total 3 pabrik,masing-masing sebuah pabrik diKabupatenLumajang, Provinsi Jawa Timur, Banjarnegara (JawaTengah), dan Cirebon (Jawa Barat). Menurut Priyonodari SMK, dari ketiga pabrik baru di Lumajang yangsudah mengolah jabon.Sebab, pasokan kayu jabon memang terbatasdan baru ada di daerah Lumajang. Priyonomengatakan bahwa Sumber Makmur Kayuindodi Lumajang memerlukan 99 m3 kayu jabon perhari. Namun, akibat terbatasnya pasokan baruterpenuhi 9 m3 per hari. Jika pasokan memadai,kebutuhan kayu kerabat kopi itu makin meningkat.Sebagai gambaran kebutuhan pabrik di DesaRawaurip, Kecamatan Kanci, Kabupaten Cirebon,juga mencapai 99 m3 per hari. Industri lainyang memerlukan jabon adalah PT Kutai TimberIndonesia.Perusahaan itu sejak 2006 menjalin kemitraandengan pekebun di Kecamatan Krucil dan Tritis,Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Hingga kininBibit jabon hasil perbanyakandengan teknologi kulturjaringan. Lokasi: LaboratoriumKultur Jaringan SeameoBiotrop, Bogor, Jawa BaratJabon berumur 3 tahunberdiameter 30 cm. Lokasidi Desa Sempuhgembol,Kecamatan Wonomerto,Kabupaten Probolinggo ( Pertumbuhan JabonTanah SuburTanah Tidak SuburSumber: Perum PerhutaniTrubus 488 – Juli 2010/XLI 15) perusahaan itu menanam setidaknya 1-juta pohonyang akan panen pada 2—3 tahun mendatang.Menurut Agus Setiawan SHut dari PT Kutai TimberIndonesia (KTI), pasokan jabon masih sangatterbatas, 2—10 m3 per sekali kirim. KTI membeli kayuberdiameter 30 cm Rp1-juta per m3. Itu harga belidi lokasi pabrik yang lebih tinggi ketimbang hargasengon.Dengan diameter sama, perusahaan berumur36 tahun itu membeli sengon Rp700.000/m3. KTImengolah kayu jabon itu sebagai kayu lapis danpapan blok yang diminati Jepang. Negeri MatahariTerbit itu rawan gempa sehingga memilih bahanpapan yang ringan seperti jabon. Setiap bulanKTI memerlukan 45.000 m3 kayu. “Kami siapmenampung berapa pun pasokan jabon,” kata CaptM Sain Latief dari PT Kutai Timber Indonesia.
PT Sekawan Sumber Sejahtera, industri diTemanggung, Jawa Tengah, yang kini bermitradengan para pekebun juga mengharap pasokanjabon secara rutin. Jika saat ini ada pasokanjabon, PT Sekawan Sumber Sejahtera siapmenerima. Krishna Pryana dari PT Sekawan SumberSejahtera menetapkan harga beli di lokasi pabrikRp540.000—Rp1,1-juta per m3 tergantung diameterdan panjang kayu. Sebagai gambaran harga kayuberdiameter 20—24 cm dan sepanjang 130 cmmencapai Rp740.000; diameter minimal 50 cm dansepanjang 260 cm, Rp1,1-juta per m3.Menurut Krishna, perusahaannya lebihmemilih kayu jabon berdiameter 25—29 cm(harga di pabrik Rp820.000 per m3) dan diameter30—39 (Rp920.000 per m3) dan sepanjang 260 cm.Kebutuhan kayu PT Sekawan Sumber Sejahteramencapai 6.000 m3 per bulan. Kebutuhan itusetara 30 ha jika populasi mencapai 400 pohonper ha (setelah penjarangan) dan dipanen padaumur 6 tahun. Itu jika volume produksi hanya0,5 m3 per pohon.
Serapan pasar
Dua tahun terakhir masyarakat bergairahmengebunkan jabon. Sayang, tak tersedia dataluas tanam jabon per tahun sehingga sulitmemprediksi volume panen. Luas penanaman dariyang berskala kecil hingga sangat luas. Kingkin Suroso SE, Komandan Pusat Polisi Militer AngkatanLaut (Puspomal),menanam 2.000 jabon di arealkantor Puspomal, Jakarta Utara seluas 5 ha. AatAminuddin dan pekebun lain di Cisokan, KabupatenCianjur, Jawa Barat, menanam jabon seluas 272 ha.Populasi per ha mencapai 1.000 bibit yang kiniberumur 6 bulan. Di berbagai daerah, antusiasmemenanam jabon juga tampak.Artinya 5—6 tahun ke depan, mereka mulaipanen. Pasar sanggup menampung produksimereka? “Kurang malah. Kayu itu tak dapattergantikan dengan plastik atau besi sekali pun.Kebutuhan manusia akan kayu terus meningkat,”kata Krishna Pryana. Agus Setiawan dari PT KutaiTimber Indonesia juga sepakat, pasar sanggupmenyerap jabon. Ia menggambarkan ketikapekebun ramai membudidayakan sengon,harganya justru terus meningkat. Jika 10 tahun laluharga sengon Rp100.000, kini melonjak menjadiRp700.000 per m3.Dr Irdika Mansur MForSc, ahli silvikultur,mengatakan harga kayu memang cenderungnaik karena kelangkaan, jarak, dan inflasi. Kayucenderung langka sehingga harganya pun kianmeningkat. Itulah sebabnya, untuk menyiasatinyaSukandar mengatakan bahwa industrilah yang kinimenyesuaikan mesin dengan ketersediaan kayu.Dulu sebaliknya, kayu harus menyesuaikan denganmesin. Namun, menurut Sukandar untuk mengolahjabon, industri tak perlu mengganti mesin yangselama ini dimanfaatkan untuk mengolah sengon.Dengan demikian, “Menanam jabon tak adaruginya. Jika dana pembelian 1.000 bibit untuklahan sehektar Rp3,5-juta kita taruh di bank, 5 tahunlagi menjadi berapa? Bandingkan jika menanamjabon, dengan harga jual minimal Rp100.000per pohon, petani memperoleh Rp100-juta,” kata Irdika. Harga Rp100.000 per pohon itu berdasarpengalaman Irdika yang menebang sebuah pohonberumur 3 tahun. Pengepul membeli pohonmuda itu Rp100.000. “Tak ada kata rugi, yang adakeuntungan berkurang,” kata Irdika yang kini getolmengkampanyekan penanaman jabon. Menanamjabon sekarang, laba segar masa depan.( trubus,Juli 2010 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar